BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kehamilan ektopik didefinisikan sebagai setiap kehamilan yang terjadi di luar kavum uteri. Kehamilan ektopik merupakan keadaan emergensi yang menjadi penyebab kematian maternal selama kehamilan trimester pertama. Karena janin pada kehamilan ektopik secara nyata bertanggung jawab terhadap kematian ibu, maka para dokter menyarankan untuk mengakhiri kehamilan.
Angka kehamilan ektopik per 1000 diagnosis konsepsi, kehamilan atau kelahiran hidup telah dilaporkan berkisar antara 2,7 hingga 12,9. Insiden ini mewakili satu kecenderungan peningkatan dalam beberapa dekade ini. Diantara faktor-faktor yang terlibat adalah meningkatnya pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim, penyakit radang panggul, usia ibu yang lanjut, pembedahan pada tuba, dan pengobatan infertilitas dengan terapi induksi superovulasi. Pada tahun 1980-an, kehamilan ektopik menjadi komplikasi yang serius dari kehamilan, terhitung sebesar 11% kematian maternal terjadi di Amerika Serikat.
Sekurangnya 95 % implantasi ekstrauterin terjadi di tuba Fallopii. Di tuba sendiri, tempat yang paling sering adalah pada ampulla, kemudian berturut-turut pada pars ismika, infundibulum dan fimbria, dan pars intersisialis dapat juga terkena. Implantasi yang terjadi di ovarium, serviks, atau cavum peritonealis jarang ditemukan.
Sebagai suatu keadaan yang mengancam kehidupan, kehamilan ektopik menuntut para ahli kebidanan untuk mengetahui metoda-metoda pengobatan yang mutakhir. Meskipun penatalaksanaan primer pada kehamilan ektopik adalah dengan pembedahan, tetapi saat ini mulai dikembangkan penatalaksanaan dengan obat-obatan yaitu dengan methotrexate. Metoda ini tampaknya efektif dan cukup aman sehingga dapat menjadi metoda alternatif pada pengobatan kehamilan ektopik. Tetapi tidak semua pasien yang didiagnosis dengan KE harus mendapat terapi medisinalis dan terapi ini tidak 100% efektif. Para dokter harus memperhatikan dengan hati-hati indikasi, kontraindikasi dan efek samping dari terapi medisinalis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kehamilan ektopik
2.1.1. Definisi
Kehamilan ektopik adalah implantasi dan pertumbuhan hasil konsepsi di luar endometrium kavum uteri. (Mansjoer, A. 2009)
Istilah kehamilan ektopik terganggu (KET) merujuk pada keadaan di mana timbul gangguan pada kehamilan tersebut sehingga terjadi abortus maupun ruptur yang menyebabkan penurunan keadaan umum pasien.
2.1.2. Epidemiologi
Insidens kehamilan ektopik yang sesungguhnya sulit ditetapkan. Meskipun secara kuantitatif mortalitas akibat KET berhasil ditekan, persentase insidens dan prevalensi KET cenderung meningkat dalam dua dekade ini. Dengan berkembangan alat diagnostik canggih, semakin banyak kehamilan ektopik yang terdiagnosis sehingga semakin tinggi pula insidens dan prevalensinya. Keberhasilan kontrasepsi pula meningkatkan persentase kehamilan ektopik, karena keberhasilan kontrasepsi hanya menurunkan angka terjadinya kehamilan uterin, bukan kehamilan ektopik. Meningkatnya prevalensi infeksi tuba juga meningkatkan keterjadian kehamilan ektopik. Selain itu, perkembangan teknologi di bidang reproduksi, seperti fertilisasi in vitro, ikut berkontribusi terhadap peningkatan frekuensi kehamilan ektopik. Di Amerika Serikat, kehamilan ektopik terjadi pada 1 dari 64 hingga 1 dari 241 kehamilan, dan 85-90% kasus kehamilan ektopik didapatkan pada multigravida.
2.1.3. Lokasi Kehamilan Ektopik
2.1.3.1. Kehamilan ektopik paling sering terjadi di daerah tuba falopi (98%),
1) Ujung fimbriae tuba falopii (17%)
2) Ampula tubae ( 55%)
3) Isthmus tuba falopii (25%)
4) Pars interstitsialis tuba falopii (2%)
2.1.3.2. ovarium (indung telur) 1.4%
2.1.3.3. rongga abdomen (perut) 1.4%
2.1.3.4. serviks (leher rahim) 0.2%
2.1.4. Etiologi
Berbagai macam faktor berperan dalam meningkatkan risiko terjadinya kehamilan ektopik. Semua faktor yang menghambat migrasi embrio ke kavum uteri menyebabkan seorang ibu semakin rentan untuk menderita kehamilan ektopik. Beberapa faktor yang dihubungkan dengan kehamilan ektopik diantaranya:
2.1.4.1. Faktor dalam tuba:
· Endosalpingitis, menyebabkan terjadinya penyempitan lumen tuba.
· Hipoplasia uteri, dengan lumen tuba menyempit dan berkelok-kelok.
· Operasi plastik tuba dan sterilisasi yang tidak sempurna dan menyebabkan lumen tuba menyempit
· Kelainan congenital tuba
2.1.4.2. Faktor pada dinding tuba:
· Endometriosis, dapat menyebabkan jaringan parut di sekitar saluran tuba
· Divertikel tuba kongenital, menyebabkan retensi telur di tempat tersebut
2.1.4.3. Faktor di luar dinding tuba:
· Perlekatan peritubal dengan distorsi atau lekukan tuba, mengakibatkan terjadinya hambatan perjalanan telur
· Tumor yang menekan dinding tuba, menyebabkan penyempitan lumen tuba
· Pelvic Inflammatory Disease (PID)
· menyebabkan perlekatan di dalam saluran tuba, gangguan pergerakan sel rambut silia yang dapat terjadi karena infeksi kuman TBC, klamidia, gonorea
· Kelainan kromosom dan malformasi.
· Foktor ovarium, yaitu migrasi luar ovum (perjalanan ovum dari ovarium kanan ketuba kiri atau sebaliknya), pembesaran ovarium,dan unextruded ovum.
2.1.4.4. Faktor lain:
· Hamil saat berusia lebih dari 35 tahun
· Migrasi luar ovum, sehingga memperpanjang waktu telur yang dibuahi sampai ke uterus
· Fertilisasi in vitro
· Penggunaan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) dan pil progesterone
Kehamilan ektopik meningkat apabila ketika hamil, masih menggunakan kontrasepsi spiral (3 – 4%). Pil yang mengandung hormon progesteron juga meningkatkan kehamilan ektopik karena pil progesteron dapat mengganggu pergerakan sel rambut silia di saluran tuba yang membawa sel telur yang sudah dibuahi untuk berimplantasi ke dalam rahim.
· Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya
Risiko paling besar untuk kehamilan ektopik. Angka kekambuhan sebesar 15% setelah kehamilan ektopik pertama dan meningkat sebanyak 30% setelah kehamilan ektopik kedua.
· Merokok
Kehamilan ektopik meningkat sebesar 1,6 – 3,5 kali dibandingkan wanita yang tidak merokok. Hal ini disebabkan karena merokok menyebabkan penundaan masa ovulasi (keluarnya telur dari indung telur), gangguan pergerakan sel rambut silia di saluran tuba, dan penurunan kekebalan tubuh
· Penggunaan dietilstilbestrol (DES)
· Riwayat operasi abdomen
Seperti operasi saluran tuba atau operasi daerah panggul, pengobatan infertilitas seperti bayi tabung –> menyebabkan parut pada rahim dan saluran tuba
· Kegagalan penggunaan kontrasepsi yang mengandung progestin saja
Chlamydia merupakan pathogen yang penting dan seringkali menyebabkan kerusakan tuba, meningkatkan resiko terjadinya kehamilan tuba. Sebagian besar infeksi oleh Chlamydia bersifat lambat dan cenderung asimptomatik, sehingga sering tidak dikenali. Chlamydia telah berhasil dikultur dari 7-30% pasien dengan kehamilan tuba. Keterkaitan yang kuat antara infeksi Chlamydia dan kehamilan tuba ditunjukkan melalui tes serologi terhadap patogen tersebut. Angka kejadian implantasi di tuba meningkat 3 kali lipat pada wanita dengan titer anti-Chlamydia trachomatis melebihi 1:64 dibandingkan titer negatif.
Kehamilan ektopik pada dasarnya disebabkan segala hal yang menghambat perjalanan zigot menuju kavum uteri. Faktor-faktor mekanis yang menyebabkan kehamilan ektopik antara lain: riwayat operasi tuba, salpingitis, perlekatan tuba akibat operasi non-ginekologis seperti apendektomi, pajanan terhadap diethylstilbestrol, salpingitis isthmica nodosum (penonjolan-penonjolan kecil ke dalam lumen tuba yang menyerupai divertikula), dan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR). Hal-hal tersebut secara umum menyebabkan perlengketan intra- maupun ekstraluminal pada tuba, sehingga menghambat perjalanan zigot menuju kavum uteri. Selain itu ada pula faktor-faktor fungsional, yaitu perubahan motilitas tuba yang berhubungan dengan faktor hormonal dan defek fase luteal. Dalam hal ini gerakan peristalsis tuba menjadi lamban, sehingga implantasi zigot terjadi sebelum zigot mencapai kavum uteri. Dikatakan juga bahwa meningkatnya usia ibu akan diiringi dengan penurunan aktivitas mioelektrik tuba. Teknik-teknik reproduktif seperti gamete intrafallopian transfer dan fertilisasi in vitro juga sering menyebabkan implantasi ekstrauterin. Ligasi tuba yang tidak sempurna memungkinkan sperma untuk melewati bagian tuba yang sempit, namun ovum yang telah dibuahi sering kali tidak dapat melewati bagian tersebut. Alat kontrasepsi dalam rahim selama ini dianggap sebagai penyebab kehamilan ektopik. Namun ternyata hanya AKDR yang mengandung progesteron yang meningkatkan frekuensi kehamilan ektopik. AKDR tanpa progesteron tidak meningkatkan risiko kehamilan ektopik, tetapi bila terjadi kehamilan pada wanita yang menggunakan AKDR, besar kemungkinan kehamilan tersebut adalah kehamilan ektopik.
2.1.5. Patologi
Sebagian besar kehamilan ektopik terjadi pada tuba. Tempat implantasi yang paling sering adalah ampula, kemudian isthmus, fimbriae, kornu, serta uterus intersisialis. Sedangkan kehamilan ektopik non-tuba sangat jarang terjadi, tetapi dapat terjadi pada abdomen, ovarium, atau servix. (Sites and frequencies of ectopic pregnancy. By Donna M. Peretin, RN).
Janin pada kehamilan ektopik tidak dapat bertumbuh dengan baik dan sempurna, karena berbagai kebutuhan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin tidak dapat dipenuhi di luar uterus, termasuk didalamnya adalah reaksi desidua, sirkulasi darah, serta kebutuhan akan ruang. Namun tahap awal gestasi tetap dapat terjadi di luar uterus. Pada umumnya janin tidak dapat bertahan hidup akibat ruptur atau involusi dari kantung gestasi.
Nidasi telur pada tuba dapat terjadi secara kolumner atau interkolumner. Perkembangan selanjutnya dibatasi oleh kurangnya vaskularisasi, sehingga biasanya telur mati dini, kemudian diresorbsi. Hormon estrogen dan progesteron, yang dihasilkan oleh korpus luteum graviditatis dan trofoblas, uterus membesar dan menjadi lembek, endometrium juga dapat berubah menjadi desidua. Fenomena Arias-Stella juga dapat ditemukan, yaitu sel epitel menjadi besar dengan inti hipertrofik, hiperkromatik, lobuler, dan bentuknya tidak teratur, sitoplasma berlubang atau berbusa, dan kadang ditemukan mitosis. Perdarahan pada kehamilan ektopik terganggu (KET) berasal dari pelepasan desidua yang degeneratif.
2.1.7. Patofisiologi
Kehamilan ektropik dapat berupa kehamilan tuba, kehamilan ovarial, kehamilan intraligameter, kehamilan servikal, dan kehamilan intraabdominal. Yang paling sering terjadi adalah kehamilan tuba. Kehamilan tuba dapat terjadi pada pars interstisialis, pars ismika, pars umpularis, dan infundibulum tuba. Kehamilan intrauterine dapat terjadi secara bersamaan dengan kehamilan ektropik. Disebut combined ectropik pregnancy bila terjadi bersamaan dan compound ectopic pregnancy bila kehamilan ektopik terjadi lebih dahulu dengan janin sudah mati dan terjadi litopedion. Hasil konsepsi bernidasi kolumnar atau interkolumnar dan biasanya akan terganggu pada kehamilan 6-10 minggu, berupa: (1) Has ail konsepsi mati dan diresorpsi, (2) Abortus kedalam lumen tuba, (3) Rupture dinding tuba. (4) Uterus menjadi besar dan lembek; endometrium dapat berubah menjadi desidua karena pengaruh estrogen dan progesterone dank orpus luteum graviditatis dan trofoblas. Pada endometrium juga dapat ditemukan fenomena Arias-Stella. (Mansjoer, A. 2009)
Tempat-tempat implantasi kehamilan ektopik antara lain ampulla tuba (lokasi tersering), isthmus, fimbriae, pars interstitialis, kornu uteri, ovarium, rongga abdomen, serviks dan ligamentum kardinal. Zigot dapat berimplantasi tepat pada sel kolumnar tuba maupun secara interkolumnar. Pada keadaan yang pertama, zigot melekat pada ujung atau sisi jonjot endosalping yang relatif sedikit mendapat suplai darah, sehingga zigot mati dan kemudian diresorbsi. Pada implantasi interkolumnar, zigot menempel di antara dua jonjot. Zigot yang telah bernidasi kemudian tertutup oleh jaringan endosalping yang menyerupai desidua, yang disebut pseudokapsul. Villi korialis dengan mudah menembus endosalping dan mencapai lapisan miosalping dengan merusak integritas pembuluh darah di tempat tersebut. Selanjutnya, hasil konsepsi berkembang, dan perkembangannya tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tempat implantasi, ketebalan tempat implantasi dan banyaknya perdarahan akibat invasi trofoblas.
Seperti kehamilan normal, uterus pada kehamilan ektopik pun mengalami hipertrofi akibat pengaruh hormon estrogen dan progesteron, sehingga tanda-tanda kehamilan seperti tanda Hegar dan Chadwick pun ditemukan. Endometrium pun berubah menjadi desidua, meskipun tanpa trofoblas. Sel-sel epitel endometrium menjadi hipertrofik, hiperkromatik, intinya menjadi lobular dan sitoplasmanya bervakuol. Perubahan selular demikian disebut sebagai reaksi Arias-Stella.
Karena tempat implantasi pada kehamilan ektopik tidak ideal untuk berlangsungnya kehamilan, suatu saat kehamilan ektopik tersebut akan terkompromi. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi pada kehamilan ektopik adalah:
(a) hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi,
(b) abortus ke dalam lumen tuba, dan
(c) ruptur dinding tuba.
Abortus ke dalam lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars ampullaris, sedangkan ruptur lebih sering terjadi pada kehamilan pars isthmica. Pada abortus tuba, bila pelepasan hasil konsepsi tidak sempurna atau tuntas, maka perdarahan akan terus berlangsung. Bila perdarahan terjadi sedikit demi sedikit, terbentuklah mola kruenta. Tuba akan membesar dan kebiruan (hematosalping), dan darah akan mengalir melalui ostium tuba ke dalam rongga abdomen hingga berkumpul di kavum Douglas dan membentuk hematokel retrouterina.
Pada kehamilan di pars isthmica, umumnya ruptur tuba terjadi lebih awal, karena pars isthmica adalah bagian tuba yang paling sempit. Pada kehamilan di pars interstitialis ruptur terjadi lebih lambat (8-16 minggu) karena lokasi tersebut berada di dalam kavum uteri yang lebih akomodatif, sehingga sering kali kehamilan pars interstitialis disangka sebagai kehamilan intrauterin biasa. Perdarahan yang terjadi pada kehamilan pars interstitialis cepat berakibat fatal karena suplai darah berasal dari arteri uterina dan ovarika. Oleh sebab itu kehamilan pars interstitialis adalah kehamilan ektopik dengan angka mortalitas tertinggi. Kerusakan yang melibatkan kavum uteri cukup besar sehingga histerektomi pun diindikasikan. Ruptur, baik pada kehamilan fimbriae, ampulla, isthmus maupun pars interstitialis, dapat terjadi secara spontan maupun akibat trauma ringan, seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. Bila setelah ruptur janin terekspulsi ke luar lumen tuba, masih terbungkus selaput amnion dan dengan plasenta yang masih utuh, maka kehamilan dapat berlanjut di rongga abdomen. Untuk memenuhi kebutuhan janin, plasenta dari tuba akan meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya, seperti uterus, usus dan ligamen.
2.1.8. Manifestasi klinis
Pada minggu-minggu awal, kehamilan ektopik memiliki tanda-tanda seperti kehamilan pada umumnya, yaitu terlambat haid, mual dan muntah, mudah lelah, dan perabaan keras pada payudara.
2.1.8.1. Gejala :
(1) Nyeri
· Nyeri panggul atau abdomen hampir selalu terdapat.
· Nyeri dapat bersifat unilateral atau bilateral ; terlokalisir atau menyebar.
· Nyeri subdiafragma atau nyeri bahu tergantung ada atau tidaknya perdarahan intra-abdominal.
· Nyeri yang diakibatkan ruptur tuba berintensitas tinggi dan terjadi secara tiba-tiba.
· Darah yang masuk ke dalam rongga abdomen akan merangsang peritoneum, sehingga pada pasien ditemukan tanda-tanda rangsangan peritoneal (nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas, defense musculaire).
· Penderita dapat jatuh pingsan dan syok.
· Nyeri akibat abortus tuba tidak sehebat nyeri akibat ruptur tuba, dan tidak terus-menerus.
· Pada awalnya nyeri terdapat pada satu sisi, tetapi setelah darah masuk ke rongga abdomen dan merangsang peritoneum, nyeri menjadi menyeluruh.
(2) Perdarahan
Perdarahan uterus abnormal (spotting) terjadi pada 75% kasus yang merupakan akibat dari lepasnya sebagian desidua. Perdarahan per vaginam berasal dari pelepasan desidua dari kavum uteri dan dari abortus tuba. Umumnya perdarahan tidak banyak dan berwarna coklat tua.
(3) Amenorea
Amenorea sekunder tidak selalu terdapat dan 50% penderita KE mengeluhkan adanya spotting pada saat haid.Keterlambatan menstruasi tergantung pada usia gestasi. Penderita mungkin tidak menyangka bahwa dirinya hamil, atau menyangka dirinya hamil normal, atau mengalami keguguran (abortus tuba). Sebagian penderita tidak mengeluhkan keterlambatan haid karena kematian janin terjadi sebelum haid berikutnya. Kadang-kadang pasien merasakan nyeri yang menjalar ke bahu. Hal ini disebabkan iritasi diafragma oleh hemoperitoneum.
(4) Sinkope
Pusing, pandangan berkunang-kunang dan atau sinkope terjadi pada 1/3 sampai ½ kasus KET.
(5) Desidual cast
5 – 10% kasus kehamilan ektopik mengeluarkan ”desidual cast” yang sangat menyerupai hasil konsepsi.
2.1.8.2. Tanda :
(1) Distensi abdomen
· Rasa tegang abdomen yang menyeluruh atau terlokalisir terdapat pada 80% kasus kehamilan ektopik terganggu
· Nyeri goyang servik (dan ketegangan pada adneksa) terdapat pada 75% kasus kehamilan ektopik.
(2) Masa adneksa
Massa unilateral pada adneksa dapat diraba pada ⅓ sampai ½ kasus KE. Kadang-kadang dapat ditemukan adanya masa pada cavum Douglassi (hematocele)
(3) Perubahan pada uterus
Terdapat perubahan-perubahan yang umumnya terjadi pada kehamilan normal seperti ada riwayat terlambat haid dan gejala kehamilan muda
(4) Syok
Pada kasus-kasus yang dramatis, sering kali pasien datang dalam keadaan umum yang buruk karena syok. Tekanan darah turun dan frekuensi nadi meningkat.
(5) Anemia
Bila perdarahan berlangsung lamban dan gradual, dapat dijumpai tanda anemia pada pasien.
(6) Massa di perut
Hematosalping akan teraba sebagai tumor di sebelah uterus. Dengan adanya hematokel retrouterina, kavum Douglas teraba menonjol dan nyeri pada pergerakan (nyeri goyang porsio). Di samping itu dapat ditemukan tanda-tanda kehamilan, seperti pembesaran uterus.
Apabila seorang wanita dengan kehamilan ektopik mengalami gejala diatas, maka dikatakan bahwa wanita tersebut mengalami Kehamilan Ektopik Terganggu. Apabila anda merasa hamil dan mengalami gejala-gejala seperti ini maka segera temui dokter anda. Hal ini sangat penting karena kehamilan ektopik dapat mengancam nyawa apabila ruptur (pecah) dan menyebabkan perdarahan di dalam.
2.1.9. Diagnosa
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu tentunya ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
2.1.9.1. Anamnesa
Kehamilan ektopik terganggu harus dipikirkan bila seorang pasien dalam usia reproduktif mengeluhkan antara lain :
· Nyeri perut bawah yang hebat dan tiba-tiba
· Nyeri perut bawah yang gradual, disertai keluhan perdarahan per vaginam setelah keterlambatan haid.
· Adanya riwayat penggunaan AKDR, infeksi alat kandungan, penggunaan pil kontrasepsi progesteron dan riwayat operasi tuba serta riwayat faktor-faktor risiko lainnya memperkuat dugaan kehamilan ektopik terganggu.
2.1.9.2. Pemeriksaan fisik
Pada emeriksaan fisik ditemukan adanya tanda-tanda :
· Akut abdomen
· Kavum Douglas menonjol
· Nyeri goyang porsio, atau massa di samping uterus. Namun sebagian besar pasien menyangkal adanya faktor-faktor risiko tersebut di atas.
· Keadaan uum
· Tanda vital : heart rate ↑, tekanan darah ↓, respirasi rate ↑, tempartur bisa naik bisa normal
2.1.9.3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan air seni dapat dilakukan untuk mengetahui kehamilan seseorang, sedangkan untuk mengetahui kehamilan ektopik seorang dokter dapat melakukan:
(1) Laboratorium
· Hematokrit, tergantung pada populasi dan derajat perdarahan abdominal yang terjadi.
· Sel darah putih, sangat bervariasi dan tak jarang terlihat adanya leukositosis.
(2) Tes kehamilan
Pada kehamilan ektopik hampir 100% menunjukkan pemeriksaan β-hCG positif. Pada kehamilan intrauterin, peningkatan kadar β-hCG meningkat 2 kali lipat setiap dua hari, 2/3 kasus kehamilan ektopik menunjukkan adanya peningkatan titer serial hCG yang abnormal, dan 1/3 sisanya menunjukkan adanya peningkatan titer hCG yang normal. Kadar hormon yang rendah menunjukkan adanya suatu masalah seperti kehamilan ektopik.
(3) USG (Ultrasound)
Bila pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan kantong gestasi dengan denyut jantung janin dengan kavum uteri yang kosong, maka diagnosis pasti dapat ditegakkan. USG transvaginal dapat mendeteksi tubal ring (massa berdiameter 1-3 cm dengan pinggir ekhogenik yang mengelilingi pusat yang hipoekhoik); gambaran tersebut cukup spesifik untuk kehamilan ektopik. USG transvaginal juga memungkinkan evaluasi kavum pelvis dengan lebih baik, termasuk visualisasi cairan di kavum Douglas dan massa pelvis.
(4) Kadar hCG
Kadar hCG membantu menegakkan diagnosis, meskipun tidak ada konsensus mengenai kadar hCG yang sugestif untuk kehamilan ektopik. Kehamilan ektopik dapat dibedakan dari kehamilan normal dengan pemeriksaan kadar hCG secara serial. Pada usia gestasi 6-7 minggu, kadar hCG serum meningkat dua kali lipat setiap 48 jam pada kehamilan intrauterin normal. Peningkatan yang subnormal (< 66%) dijumpai pada 85% kehamilan yang nonviable, dan peningkatan sebanyak 20% sangat prediktif untuk kehamilan nonviable. Fenomena ini, bila disertai dengan terdeteksinya kavum uteri yang kosong, mengindikasikan adanya kehamilan ektopik. Secara klinis, penegakan diagnosis KET dengan pemantauan kadar hCG serial tidak praktis, karena dapat mengakibatkan keterlambatan diagnosis. Selain itu, peningkatan kadar hCG serum dua kali lipat setiap 48 jam tidak lagi terjadi setelah minggu ke-7 kehamilan. Oleh sebab itu, umumnya yang diperiksakan adalah hCG kualitatif untuk diagnosis cepat kehamilan.
Dengan adanya USG dan pemeriksaan kadar hCG yang lebih akurat, kuldosentesis sudah tidak terlalu sering dilakukan. Meskipun demikian, tindakan tersebut masih dilakukan bila tidak ada fasilitas USG atau bila pada pemeriksaan USG kantong gestasi tidak berhasil terdeteksi.
(5) Kuldosintesis
Memasukkan jarum kedalam cavum Douglassi transvaginal untuk menentukan ada atau tidak adanya darah dalam cavum Douclassi. Tindakan ini tak perlu dikerjakan bila diagnosa adanya perdarahan intraabdominal sudah dapat ditegakkan dengan cara pemeriksaan lain. Adapun teknik Kuldosintesis yakni:
· Baringkan pasien dalam posisi litotomi.
· Bersihkan vulva dan vagina dengan antiseptic.
· Pasang speculum dan jepit bibir belakang porsio dengan cunam serviks, lakukan traksi kedepan sehingga forniks posterior Nampak.
· Suntikan jarum spinal no.18 ke kavum douglasi dan lakukan pengisapan dengan semprif 10ml.
· Bila dalam pengisapan darah, perhatikan apakah darahnya berwarna coklat sampai hitam yang tidak membeku atau berupa bekuan kecil yang merupakan tanda hematokel retrouterina.
(6) Kadar progesteron
Pada kehamilan nonviable memang menurun, namun penurunan kadar progesteron tersebut tidak dapat membedakan kehamilan ektopik dari abortus insipiens.
(7) Kuretase
Kuretase dapat dikerjakan untuk membedakan kehamilan ektopik dari abortus insipiens atau abortus inkomplet. Kuretase tersebut dianjurkan pada kasus-kasus di mana timbul kesulitan membedakan abortus dari kehamilan ektopik dengan kadar progesteron serum di bawah 5 ng/ml, β-hCG meningkat abnormal (< 2000 mU/mL) dan kehamilan uterin tidak terdeteksi dengan USG transvaginal.
(8) Laparoskopi dan laparotomi
Diagnosis secara bedah juga dapat dilakukan dengan laparoskopi dan laparotomi. Laparotomi umumnya dikerjakan bila keadaan hemodinamik pasien tidak stabil.
2.1.10. Diagnosis Banding
Keadaan-keadaan patologis baik di dalam maupun di luar bidang obstetri-ginekologi perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding KET. Kelainan bidang obstetri-ginekologi yang didiagnosis banding dengan KET antara lain
(1) Abortus
(2) Kista ovarii terpuntir
(3) Perdarahan uterin disfungsional,
(4) Endometriosis
(5) Salpingitis
(6) Ruptur kista luteal dan penyakit trofoblastik gestasional.
(7) Penyakit di luar bidang obstetri-ginekologi yang manifestasinya menyerupai KET adalah apendisitis.
2.1.11. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kehamilan ektopik tergantung pada beberapa hal, antara lain lokasi kehamilan dan tampilan klinis. Sebagai contoh, penatalaksanaan kehamilan tuba berbeda dari penatalaksanaan kehamilan abdominal. Selain itu, perlu dibedakan pula penatalaksanaan kehamilan ektopik yang belum terganggu dari kehamilan ektopik terganggu. Tentunya penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik yang belum terganggu berbeda dengan penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik terganggu yang menyebabkan syok.
(1) Kehamilan Tuba
Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih dalam kondisi baik dan tenang, memiliki 3 pilihan, yaitu penatalaksanaan ekspektasi (expectant management), penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan bedah.
a. Penatalaksanaan Ekspektasi
Penatalaksanaan ekspektasi didasarkan pada fakta bahwa sekitar 75% pasien negative β-hCG. Kehamilan ektopik akan mengalami penurunan kadar β-hCG. kehamilan ektopik dini dengan kadar stabil atau cenderung turun harus diobservasi ketat. Oleh sebab itu, tidak semua pasien dengan kehamilan ektopik dapat menjalani penatalaksanaan seperti ini. Penatalaksanaan ekspektasi dibatasi pada keadaan-keadaan berikut: 1) kehamilan dengan β-hCG yang menurun, 2) kehamilan tuba, 3) kehamilan ektopik dengan kadar perdarahan intraabdominal atau ruptur, dan 4) diameter massa ektopik β-hCG awal harus ≤ 3.5 cm. Sumber lain menyebutkan bahwa kadar dari 1000 mIU/mL dan diameter massa ektopik tidak melebihi 3.0 cm. Dikatakan bahwa penatalaksanaan ekspektasi ini efektif pada 47-82% kehamilan tuba.
b. Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak integritas jaringan dan sel hasil konsepsi. Kandidat-kandidat penerima tatalaksana medis harus memiliki syarat-syarat berikut ini: keadaan hemodinamik yang stabil, bebas nyeri perut bawah, tidak ada aktivitas jantung janin, tidak ada cairan bebas dalam rongga abdomen dan kavum Douglas, harus teratur menjalani terapi, harus menggunakan kontrasepsi yang efektif selama 3-4 bulan pascaterapi, tidak memiliki penyakit-penyakit penyerta, sedang tidak menyusui, tidak ada kehamilan intrauterin yang koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal, serta tidak memiliki kontraindikasi terhadap pemberian methotrexate. Berikut ini akan dibahas beberapa metode terminasi kehamilan ektopik secara medis.
· Methotrexate
Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk terapi keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas, dan bila diberikan pada pasien dengan kehamilan ektopik, methotrexate diharapkan dapat merusak sel-sel trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan tersebut.Angka kegagalan sebesar 5-10%, dan angka kegagalan meningkat pada usia gestasi di atas 6 minggu atau bila massa hasil konsepsi berdiameter lebih dari 4 cm.. Senggama dan konsumsi asam folat juga dilarang. Tentunya methotrexate menyebabkan beberapa efek samping yang harus diantisipasi, antara lain gangguan fungsi hepar, stomatitis, gastroenteritis dan depresi sumsum tulang. Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis multipel. Dosis tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2 (intramuskular), sedangkan dosis multipel yang diberikan adalah sebesar 1 mg/kg (intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7. Pada terapi dengan dosis multipel leukovorin ditambahkan ke dalam regimen pengobatan dengan dosis 0.1 mg/kg (intramuskular), dan diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi methotrexate dosis multipel tampaknya memberikan efek negatif pada patensi tuba dibandingkan dengan terapi methotrexate dosis tunggal 9. Methotrexate dapat pula diberikan melalui injeksi per laparoskopi tepat ke dalam massa hasil konsepsi. Terapi methotrexate dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling ekonomis untuk kehamilan ektopik yang belum terganggu.
· Actinomycin
Neary dan Rose melaporkan bahwa pemberian actinomycin intravena selama 5 hari berhasil menterminasi kehamilan ektopik pada pasien-pasien dengan kegagalan terapi methotrexate sebelumnya.
· Larutan Glukosa Hiperosmolar
Injeksi larutan glukosa hiperosmolar per laparoskopi juga merupakan alternatif terapi medis kehamilan tuba yang belum terganggu.
c. Penatalaksanaan Bedah
Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan kehamilan tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu saja pada kehamilan ektopik terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat mungkin. Pada dasarnya ada 2 macam pembedahan untuk menterminasi kehamilan tuba, yaitu pembedahan konservatif, di mana integritas tuba dipertahankan, dan pembedahan radikal, di mana salpingektomi dilakukan. Pembedahan konservatif mencakup 2 teknik yang kita kenal sebagai salpingostomi dan salpingotomi. Selain itu, macam-macam pembedahan tersebut di atas dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi. Namun bila pasien jatuh ke dalam syok atau tidak stabil, maka tidak ada tempat bagi pembedahan per laparoskopi.
· Salpingostomi
Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopii. Pada prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit dan dapat dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka (tidak dijahit kembali) untuk sembuh per sekundam. Prosedur ini dapat dilakukan dengan laparotomi maupun laparoskopi. Metode per laparoskopi saat ini menjadi gold standard untuk kehamilan tuba yang belum terganggu.
· Salpingotomi
Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi, kecuali bahwa pada salpingotomi insisi dijahit kembali.
· Salpingektomi
Reseksi tuba dapat dikerjakan baik pada kehamilan tuba yang belum maupun yang sudah terganggu, dan dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi. Salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut ini:
1) Kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu)
2) Pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif
3) Terjadi kegagalan sterilisasi
4) Telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya
5) Pasien meminta dilakukan sterilisasi
6) Perdarahan berlanjut pascasalpingotomi
7) Kehamilan tuba berulang
8) Kehamilan heterotopik, dan
9) Massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm.
Reseksi massa hasil konsepsi dan anastomosis tuba kadang-kadang dilakukan pada kehamilan pars ismika yang belum terganggu. Metode ini lebih dipilih daripada salpingostomi, sebab salpingostomi dapat menyebabkan jaringan parut dan penyempitan lumen pars ismika yang sebenarnya sudah sempit. Pada kehamilan pars interstitialis, sering kali dilakukan pula histerektomi untuk menghentikan perdarahan masif yang terjadi. Pada salpingektomi, bagian tuba antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem, digunting, dan kemudian sisanya (stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria tuboovarika diligasi, sedangkan arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang direseksi dipisahkan dari mesosalping.
(2) Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi
Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat dievakuasi dari fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan menyemburkan cairan di bawah tekanan dengan alat aquadisektor atau spuit, massa hasil konsepsi dapat terdorong dan lepas dari implantasinya. Fimbraektomi dikerjakan bila massa hasil konsepsi berdiameter cukup besar sehingga tidak dapat diekspulsi dengan cairan bertekanan.
2.1.12. Pencegahan
Berhenti merokok akan menurunkan risiko kehamilan ektopik. Wanita yang merokok memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami kehamilan ektopik. Berhubungan seksual secara aman seperti menggunakan kondom akan mengurangi risiko kehamilan ektopik dalam arti berhubungan seks secara aman akan melindungi seseorang dari penyakit menular seksual yang pada akhirnya dapat menjadi penyakit radang panggul. Penyakit radang panggul dapat menyebabkan jaringan parut pada saluran tuba yang akan meningkatkan risiko terjadinya kehamilan ektopik.
Kita tidak dapat menghindari 100% risiko kehamilan ektopik, namun kita dapat mengurangi komplikasi yang mengancam nyawa dengan deteksi dini dan tatalaksana secepat mungkin. Jika kita memiliki riwayat kehamilan ektopik sebelumnya, maka kerjasama antara dokter dan ibu sebaiknya ditingkatkan untuk mencegah komplikasi kehamilan ektopik.
2.1.13. Prognosis kehamilan di masa depan
Adalah suatu kewajaran untuk khawatir menganai masalah kesuburan setelah mengalami kehamilan ektopik. Seseorang yang mengalami kehamilan ektopik bukan berarti tidak dapat mengalami kehamilan normal namun berarti seseorang memiliki kemungkinan untuk mengalami kehamilan ektopik lagi di masa depan.
Umumnya penyebab kehamilan ektopik (misalnya penyempitan tuba atau pasca penyakit radang panggul) bersifat bilateral. Sehingga setelah pernah mengalami kehamilan ektopik pada tuba satu sisi, kemungkinan pasien akan mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba sisi yang lain
Apabila saluran tuba ruptur (pecah) akibat kehamilan ektopik dan diangkat melalui operasi, seorang wanita akan tetap menghasilkan ovum (sel telur) melalui saluran tuba sebelahnya namun kemungkinan hamil berkurang sebesar 50 %. Apabila salah satu saluran tuba terganggu (contoh karena perlekatan) maka terdapat kemungkinan saluran tuba yang di sebelahnya mengalami gangguan juga. Hal ini dapat menurunkan angka kehamilan berikutnya dan meningkatkan angka kehamilan ektopik selanjutnya. Pada kasus yang berkaitan dengan pemakaian spiral, tidak ada peningkatan risiko kehamilan ektopik apabila spiral diangkat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anthonius Budi. M, Kehamilan Ektopik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.
2. Cunningham, F. Gary. 2009. Obstetri Williams Vol.1 Edisi 23. Jakarta: EGC
3. Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: BP-SP
4. Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi III. Jakarta;Media Aesculapius
5. Arif M. dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2001. Hal. 267-271.
6. Angie Child, HMS IV and Gillian Lieberman, MD.